MAKALAH
AKHLAK TASAWUF
“NAMIMAH”
DOSEN : Dra. Syarifah Asmiati, M.Si
Disusun Oleh :
NAMA : SYAHRULIANSYAH
NIM : 11411101132
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
2013/2014
KATA PENGANTAR
Segala
puja dan puji hanya bagi ALLAH SWT., yang begitu tinggi alam ke esaan-Nya, dan
yang begitu dekat dalam kesendirian-Nya. Maha agung dalam kekuasaan-Nya dan
maha besar dalam kekokohan-Nya. Sholawat dan salam mudah-mudahan senantiasa
dicurahkan kehadirat Nabi Muhammad SAW, beserta ahli keluarganya, para
sahabatnya serta pengikut jejak risalahnya Din al-Islam hingga akhir zaman.
Amin.
Alhamdulillah, berkat rahmat dan
karunia Allah SWT., penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul
“NAMIMAH”. Tak lupa pula kepada dosen pengampu yang telah membantu kami dalam
penyelesaian makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu cara agar anak didik
menjadi giat dalam proses belajar dirumah dengan pengawasan orang tua. Semoga
dengan makalah ini dapat menjadi bahan bacaan bagi para pembaca dan menjadi
amal jariyah abadi serta mendapat ridho’ dan ma’unah Allah SWT. Akhirnya penulis mohon doa dari sekalian
pembaca, semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat dalam meng-akselerasikan
anak didik untuk menjadi generasi penerus yang memiliki wawasan tinggi dan bisa
bersaing dengan orang lain dalam meraih keinginan anak didik tersebut.
Sumbangan saran dan kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan guna
menuju kesempurnaaan makalah ini dimasa datang, wallahhu a’lam bi ash ahawab.
Pontianak, 08
November
2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………ii
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II : PEMBAHASAN
A. Penegertian Namimah
B. Hukum dan Ancaman bagi Pelaku Namimah
C. Contoh Perilaku Bahaya Namimah dan
Namimah yang Diperbolehkan
D. Pengaruh dan Upaya Melepaskan Diri dari
Perilaku Namimah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bermula dari sepotong lisan berbagai kerusuhan
menjadi berlarut-larut. Sampai ada pepatah yang mengatakan "Mulutmu
Harimaumu" atau " Ajining diri ono ing lathi". Dari
ketergelincirnya lisan maka berbagai problem diri maupun sosial menjadi
mengemuka.
Salah satu bentuk kejahatan lisan yang termasuk
dosa besar adalah namimah atau adu domba. Seperti provokator yang senantiasa
mencari korban agar mempercayai tiap ucapannya, begitu pula namimah. Ia mencari
korban dengan lisan tajamnya. Ketika kita tidak jeli dalam menangkapnya maka
jelas kita sudah masuk perangkapnya. Atau dalam kasus yang lain kita kadang
tidak merasa telah menyebarkan fitnah, sebagai pelaku namimah sendiri. Maka
perlu pemahaman batasan dalam perkataan agar tidak dikategorikan namimah.
Mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan
merusak adalah salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan dan yang
menyulut api kebencian serta permusuhan antar sesama manusia.
Di antara bentuk namimah yang paling buruk adalah hasutan
yang dilakukan seorang lelaki tentang istrinya atau sebaliknya, dengan maksud
untuk merusak hubungan suami istri tersebut. Demikian juga adu domba yang
dilakukan sebagian karyawan kepada teman karyawannya yang lain. Misalnya dengan
mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut kepada direktur atau atasan dengan
tujuan untuk memfitnah dan merugikan karyawan tersebut. Semua hal ini hukumnya
haram.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Namimah
1. Penyelewengan
Lidah
Lidah termasuk
nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya
melahirkan manfaat yang luas, dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor
kuburukan yang panjang. Barang siapa yang mengumbar lidahnya dan melepaskan
kekang yang mengendalikannya, maka syaitan akan masuk untuk memanfaatkannya,
sehingga dia akan terperosok kedalam jurang curam yang sangat berbahaya.
Siapa pun tidak akan selamat dari kejahatan lidah, kecuali
bila dia mengikatnya dengan kedali syar’i, sehingga tidak berbicara kecuali
tentang hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Lidah bisa membuat
anggota-anggota tubuh melakukan maksiat, karena tidak sulit untuk
menggerakannya dan tidak sulit untuk mempergunakannya. Dia adalah alat paling
penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaitan dalam menjerumuskan manusia kejurang
kenistaan.
Kedua mata amalnya sangat terbatas pada memandang, kedua telinga fungsinya hanya mendengar, dan tangan hanya bisa menyentuh, sedangkan lidah sekali pun kecil, mampu menjangkau segala sesuatu baik yang hak maupun yang batil, menolak atau menerima, taat atau maksiat, iman atau kafur.
Kedua mata amalnya sangat terbatas pada memandang, kedua telinga fungsinya hanya mendengar, dan tangan hanya bisa menyentuh, sedangkan lidah sekali pun kecil, mampu menjangkau segala sesuatu baik yang hak maupun yang batil, menolak atau menerima, taat atau maksiat, iman atau kafur.
Apakah
yang terdapat diantara dua janggut adalah lidah, sedangkan yang terdapat
diantara dua kaki adalah faraj. Terkadang seseorang mengucapkan kata tanpa
dipikirkan sebelumnya, sehingga melahirkan kerugian. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:” sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabakan dia tergelinncir kedalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”
Artinya:” sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabakan dia tergelinncir kedalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”
Seluruh anggota badan manusia menuntut lidah agar istiqomah
pada kebenaran dan tidak menyeleweng. Ingatlah wahai saudaraku sesungguhnya
lidah itu mempunyai dua macam penyelewengan. Bila dia lolos dari penyelewengan
pertama maka dia tidak akan bersih dari yang kedua, yaitu penyelewengan dalan
berbicara dan penyelewengan ketika diam. Kadangkala yang kedua biasa lebih fatal
dari pada yang pertama. Diam dari kebenaran adalah syaithan yang bisu, dia
maksiat kepada Allah SWT. dan menentangnya serta tertipu.
Para sahabat telah mengetahui bahaya lidah, maka mereka
mempergunakannya dalam kebaikan dan memeliharanya dari kejelekan. Abu bakar
syidiq menunjuk lidahnya, lalu berkata:
”
inilah yang mengakibatkan timbulnya dosa”
Hakim mengatakan bahwa ada enam hal yang dimiliki oleh lidah
yaitu:
1. Marah
karena segala hal
2.
Berbicara yang tidak manfaat
3. Memeberi bukan pada temmpatnya
3. Memeberi bukan pada temmpatnya
4. Menyebarkan
kejelekan kepada setiap orang
5. Percaya
kepada setiap manusia
6. Tidak
mengenal kawan dari pada musuhnya
Memang tidak ada yang lebih pantas dipenjara daripada lidah.
Lidah merupakan anggota tubuh yang sangat vital dalam melaksanakan dosa.
Apabila kita merasa risi dengan perbuatan dosa lidah maka lebih baik kita diam
saja. Sebagimana sabda Nabi SAW:
Artinya:
“ barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat,
maka hendaknya dia berbicara yang baik atau diam “
Inilah hadits yang shaheh yang menjelaskan bahwa kita tidak
pantas berbicara kecuali pembicaraan yang baik yang mengandung manfaat.
2. Pengertian Namimah
Namimah atau adu domba dalam bahasa Arab berasal
dari kata al namimah yang berarti penyebar fitnah. Makna secara
etimologinya adalah memindahkan ucapan seseorang kepada orang lain dengan
tujuan merusak yang menyebabkan terputusnya suatu ikatan yang telah terjalin,
serta yang menyulut api kebencian dan permusuhan antar sesama manusia.
Namimah adalah mengadukan ucapan seseorang
kepada orang lain dengan tujuan merusak salah satu faktor yang menyebabkan
terputusnya ikatan, serta yang menyulut api kebencian dan permusuhan antar
sesama manusia sering kita menyebutnya adu domba.
Allah SWT. mencela pelaku perbuatan tersebut
dalam firman-Nya :
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambar
fitnah”
(Al Qalam : 10-11).
Dalam sebuah
hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah Radhiallahu’anhu disebutkan :
“Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang
adu domba)”
(HR Al Bukhari, lihat Fathul Bari :10/472).
Dalam An Nihayah karya Ibnu Katsir 4/11 disebutkan :
“Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri
dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan
tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba”.
Ibnu Abbas meriwayatkan :
“(suatu hari) Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam melewati sebuah kebun di antara kebun-kebun Madinah, tiba-tiba beliau
mendengar dua orang yang disiksa dalam kuburnya”,
lalu Nabi Muhammad Saw bersabda :
”Keduanya disiksa, padahal tidak karena masalah
yang besar (dalam anggapan keduanya), lalu bersabda: benar (dalam sebuah
riwayat disebutkan: padahal sesungguhnya ia adalah persoalan besar) seorang
diantaranya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan
kencingnya dan seorang lagi (karena) suka mengadu domba”
(HR. Al-Bukhari, Fathul Bari :1/317).
Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah
berkata, “An-Namimah pada umumnya digunakan untuk orang yang membeberkan
ucapan orang lain kepada orang yang diceritakan, seperti ucapanmu, “Si fulan
berkata begini tentangmu!” Dan an-Namimah ini tidak hanya terbatas pada
hal tersebut, akan tetapi batasannya adalah membeberkan sesuatu yang dibenci
untuk dibeberkan, baik dibenci oleh pihak yang dibeberkan rahasianya ataupun
pihak yang diberi pembeberan rahasia yang disebut orang ketiga, baik pembeberan
tersebut dengan perkataan, tulisan, isyarat, sandi, ataupun yang lainnya, baik
sesuatu yang dibeberkan itu berupa perkataan ataupun perbuatan, dan baik berupa
aib ataupun yang lainnya. Maka hakikat an-Namimah adalah menyebarkan
rahasia dan menyingkap hal yang tertutup tentang sesuatu yang dibenci
penyebarluasannya.
Seyogyanya manusia diam dari segala yang
dilihatnya yaitu perihal keadaan manusia, kecuali sesuatu yang di dalamnya
terdapat faidah bagi orang Muslim atau mencegah kemaksiatan. Apabila dia
melihat orang lain menyembunyikan hartanya, lalu dia menyebutkannya, maka
tindakannya itu pun disebut namimah.”
Al-Ghazali berkata, “Setiap orang yang
disampaikan an-Namimah kepadanya dan dikatakan kepadanya, ‘Si fulan
berkata begini tentangmu,’ maka dia wajib melakukan enamna perkara:
Pertama, hendaklah dia tidak
membenarkannya (tidak mempercayainya), karena pengadu domba tersebut adalah
orang yang fasik, dan kabarnya tertolak.
Kedua, hendaklah dia
melarangnya dari hal tersebut, menasihatinya dan menyatakan bahwa perbuatan
tersebut adalah buruk.
Ketiga, hendaklah dia
membencinya karena Allah, sebab orang tersebut dibenci oleh Allah, sedangkan
benci karena Allah adalah wajib.
Keempat, janganlah berprasangka
buruk terhadap pihak yang perkataannya dibeberkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu
waTa`ala,
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا
مِّنَ الظَّنِّ
“Jauhilah kebanyakan dari prasangka.” (Al-Hujurat: 12).
Kelima, janganlah apa yang
diceritakan kepadamu, membuatmu mencari-cari (tajassus) dan meneliti kebenaran
sesuatu yang diadukan tersebut. Allah SWT berfirman:
وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ
بَعْضًا
“.. . dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain.” (Al-Hujurat: 12).
Keenam, hendaklah dia tidak
ridha untuk dirinya sendiri apa yang dia sendiri melarang pelaku namimah
darinya, maka janganlah dia menceritakan namimahnya.
Dan terdapat suatu riwayat bahwasa seorang
lelaki menyebutkan sesuatu tentang seseorang kepada Umar bin Abdul Azis rahimahullah.
Maka Umar berkata, “Jika kamu mau, maka kami akan melihat perkaramu, namun bila
kamu ternyata seorang pendusta, maka kamu termasuk golongan ayat ini,
إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti,” (Al-Hujurat: 6), dan
bila kamu orang yang benar, maka kamu termasuk golongan ayat ini,
هَمَّازٍ مَّشَّآءٍ
بِنَمِيمٍ
“Yang banyak mencela, yang kian kemari
menghambur fitnah,” (Al-Qalam:11), dan jika kamu mau, kami akan
mengampunimu.” Dia menjawab, “Pengampunan yang aku mau, wahai Amirul Mukminin,
saya tidak akan mengulanginya lagi selamanya.”
Seseorang menyerahkan secarik kertas kepada
ash-Shahib bin Abbad yang di dalamnya dia didorong untuk mengambil harta
seorang anak yatim, dan harta tersebut berjumlah banyak. Maka dia menuliskan
kalimat di baliknya, “Namimah adalah jelek, walaupun benar. Mayit itu,
semoga Allah merahmatinya. Anak yatim itu, semoga Allah mencukupinya. Harta
itu, semoga Allah mengembangkannya. Dan orang yang berusaha (mengambilnya),
semoga Allah melaknatnya.”
B. Hukum dan Ancaman bagi Pelaku Namimah
Berdasarkan definisi namimah dalam pembahasan
sebelumnya, jelas bahwa namimah termasuk perbuatan madzmumah (akhlak tercela).
Bahkan berdasar ijma' hukum namimah adalah haram. Sebagaimana firman Alloh SWT
dalam Al-Qur'an surat Al-Qalam : 10-11 yang artinya :
"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur
fitnah."
Dalam sebuah hadits marfu' diriwayatkan oleh
Hudzaifah :
"Tidak akan masuk surga bagi tukang adu
domba." ( HR Bukhori)
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam
kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan,
Suatu hari Rasulullah SAW melewati dua kuburan, lantas bersabda :
"Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini
sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk
ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang
yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah."(HR Bukhori)
C.
Contoh Perilaku Bahaya Namimah Dan Namimah yang Diperbolehkan
1.
Contoh Perilaku Bahaya Namimah
Seorang siswa yang terjangkit penyakit hati
namimah selalu menceritakan perkataan atau sikap temannya kepada teman yang
lain sehingga kedua teman tersebut saling membenci. Namimah juga dapat merusak
hubungan suami istri jika ada pihak-pihak yang menceritakan dan menghasut
seorang suami tentang istrinya atau sebaliknya. Demikian juga adu domba
yang dilakukan sebagian karyawan kepada teman karyawannya yang lain. Misalnya
dengan mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut kepada direktur atau atasan
dengan tujuan untuk memfitnah dan merugikan karyawan tersebut. Semua hal ini
hukumnya haram. Penjajah Belanda juga pernah mempraktikan strategi
(strategi adu domba) untuk menghancurkan kekuatan para pejuang.
Disekitar
kita orang yang hobi mengadu domba/namimah sangat
banyak bergentayangan, dan lebih sering di kenal sebagai provokator
kejelekan. Namimah bukanhal yang kecil, bahkan para ulama mengkatagorikannya di
dalam dosa besar karena kaibat yang ditimbulkan juga sangat fatal. Dikisahkan
bahwa Fulan mempunyai seorang budak yang sehat dan kuat, namun budak itu
suka mengadu domba, maka dia bermaksud menjual budak tersebut. Fulan lalu
berkata kepada calon pembelinya: "Budak ini tidak ada cirinya kecuali suka
mengadu domba." Oleh calon pembeli itu masalah ini dianggap ringan dan
budak itu tetap dibeli dengan harga yang cukup murah. Setelah beberapa hari
ditempat majikannya yang baru, tiba-tiba budak itu berkata kepada isteri
majikannya: "Suamimu tidak cinta kepadamu dania akan berpoligami, apakah
kau ingin supaya ia tetap sayang kepadamu sehingga tidak menikah lagi?
"Jawab isteri itu: "Ya. "Lalu kalau begitu kau ambil pisau cukur
dan mencukur janggut suamimu yang bagian dalam (di leher) jika suamimu
sedang tidur." kata budak itu. Kemudian ia pergi kepada majikannya (suami)
dan berkata kepadanya: "Isterimu bermain dengan lelaki lain dan ia
merencanakan untuk membunuhmu, jika engkau ingin mengetahui buktinya maka coba
engkau berpura-pura tidur. "Maka suami itu berpura-pura tidur dan
tiba-tiba datang isterinya membawa pisau cukur untuk mencukur janggut suaminya,
maka oleh suaminya disangka benar-benar akan membunuhnya sehingga ia bangun
kemudian merebut pisau itu dari tangan isterinya lalu membunuh isterinya. Oleh
karena kejadian itu maka datang para keluarga dari pihak isterinya dan langsung
membunuh suami itu sehingga terjadi perang antara keluarga dan suku suami
dengan keluarga dan suku dari isteri. Dengan demikian akibat namimah ini sangat
besar dan fatal sekali, dengan nyaterkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan
ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Ia pun mengakibatkan kerusakan di muka
bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.
2.
Namimah yang diperbolehkan
Jika
namimah dilakukan karena suatu keperluan maka hukumnya diperbolehkan. Sebagai
contoh ada orang yang memberi tahu si B bahwa si A akan membunuhnya, salah satu
anggota keluarga atau hendak merampas hartanya.
Contoh yang lain adalah orang yang melapor
kepada pemerintah atau pihak yang berwenang dengan mengatakan bahwa ada
seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang berbahaya dan menjadi
kewajiban penguasa untuk menangani dan menumpasnya. Semua perkara ini hukumnya
tidaklah haram. Begitu pula perkara-perkara serupa bahkan terkadang hukumnya
menjadi wajib atau sunnah tergantung situasi dan kondisi.
Penyampaian berita yang tercela adalah jika
bertujuan untuk merusak hubungan. Sedangkan orang yang bermaksud baik dengan
perkataan yang apa adanya dan berusaha untuk tidak menyakiti pihak manapun maka
hukumnya tidaklah mengapa. Namun sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan
untuk bisa membedakan namimah yang diperbolehkan dengan namimah yang terlarang.
Oleh karena itu, jalan selamat bagi orang yang belum bisa membedakan dua hal
ini adalah dengan diam.
D. Pengaruh dan Upaya Melepaskan Diri dari
Perilaku Namimah
1.
Pengaruh Namimah
Jarang
sekali orang yang memandang namimah sebagai suatu penyakit yang bisa diobati.
Kisah berikut ini menjelaskan kepada kita, bahaya namimah dalam memecah belah
manusia dan menyebabkan kerusakan di muka bumi.
Dari Hamad bin Salamah, dia mengatakan bahwa
seseorang telah menjual seorang hamba sahaya, lalu dia berkata kepada si
pembeli, “Dia tidak mempunyai cacat, kecuali suka berbuat namimah.” Lalu si
pembeli menganggap itu baik, maka dibelilah hamba sahaya itu. Kemudian budak
itu tinggal dengan keluarga si pembeli. Suatu hari, ia bercerita kepada istri
si pembeli, “Sesungguhnya suamimu tidak mencintaimu dan dia akan menikah lagi.
Maukah engkau kuberitahu agar dia mencintaimu kembali.” Lalu istri Si pembeli
itu menjawab, “Mau!” Berkata lagi si hamba kepadanya, “Ambillah pisau cukur,
dan cukurlah jenggot suamimu ketika ia tidur.” Setelah itu si hamba tadi pergi
menemui tuannya, lalu berkata, “Sesungguhnya istrimu punya kekasih yang lain
dan dia hendak membunuhmu, apakah Tuan ingin mengetahui hal itu?” Si tuan
menjawab, “Ya, mau!” Lalu si hamba berkata lagi, “Berpura-puralah Tuan tidur,
maka Tuan akan tahu.” Maka ia pun berpura pura tidur, lalu datanglah istrinya
dengan membawa pisau cukur, dengan maksud akan mencukur jenggot suaminya.
Tetapi suaminya menyangka bahwa istrinya akan membunuhnya, maka direbutlah
pisau cukur itu dari istrinya, lalu dibunuhlah istrinya. Setelah itu datanglah
orangtuanya, sehingga terjadilah perang antara dua kelompok. (Lihat kitab Al
Kabair karangan Adz Dzahabi hal. 156)
Demikian pula halnya pada tingkat negara.
Seringkali terjadi peperangan dahsyat antara dua negara, yang banyak menelan
korban harta dan manusia. Penyebab utamanya adalah namimah, amat cepat
menanggapinya tapi lamban dalam menyelidikinya.
Perhatikanlah wahai saudaraku, betapa banyak
kehancuran yang menimpa seseorang atau kelompok, karena namimah! Semoga Allah Subhanahu
wa ta’ala menyelamatkan kita dari keburukan namimah, dan menyibukkan lidah
kita dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan taat
kepada-Nya. Semoga
Allah menuntun kita kepada hal-hal yang dicintai dan diridhoi-Nya. Sesungguhnya
Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan
kepada hamba dan kekasih-Nya, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, serta
keluarga dan para sahabatnya.
2.
Upaya Melepaskan Diri Dari Perilaku Namimah
Secara
tegas Alloh membenci pelaku namimah. Dan sebagai hamba yang senantiasa memegang
tali Alloh, maka selayaknya mengelak dari perbuatan ini.
Ghibah yang berlebihan sering mendorong
seseorang untuk namimah, entah sengaja maupun tidak. Begitu pula rasa tidak
suka, hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil
pada seseorang, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak
perbuatan namimah yang terjadi karena adanya hasad di hati. Lebih dari itu,
satu langkah agar terlepas dari perbuatan namimah adalah hendaknya kita tidak
memendam hasad (kedengkian) kepada orang lain serta mengelak dari ghibah. Dan
yang lebih berat lagi adalah berusaha untuk menjaga lisan serta menahan dari
perkataan tidak berguna, apalagi dari perkataan yang menyebabkan saudara kita
tersakiti dan terdzalimi.
Dalam kondisi yang berbeda bila kita dihadapkan
pada pelaku namimah yang memprovokasi kita dengan kata-kata manisnya, maka
perlu sensor yang ketat agar tidak terjebak dalam kubangan dosa. Imam Nawawi
berkata, "Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah,
dikatakan : " Fulan telah berkata tentangmu begini begitu. Atau melakukan
ini dan itu terhadapmu, " maka hendaklah ia melakukan 6 perkara yaitu :
1. Tidak membenarkan
perkataannya
2. Mencegahnya dari
perbuatan tersebut dengan menasehatinya dan menjelaskan kepadanya bahwa perbuatannya itu tidak baik.
3. Membencinya karena
Alloh, karena perbuatan semacam itu sangat dibenci Alloh. Maka wajib membenci
orang yang dibenci oleh Alloh.
4. Tidak bersu'udzon atau
berprasangka buruk kepada orang yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5. Tidak memata-matai atau
mencari-cari aib yang bersangkutan dikarenakan namimah yang didengarnya.
6. Jangan menelan semua
yang dikatakan oleh si provokator tersebut.
3.
Cara Berhadapan dengan Orang
yang Melakukan Namimah
Para ulama menjelaskan enam sikap yang wajib
kita lakukan bila berhadapan dengan orang yang melakukan namimah.
1.
Tidak
membenarkan apa yang disampaikannya, karena persaksiannya tertolak. Al-Qur’an
menyebut orang semacam itu dengan sebutan fasik.
2.
Melarangnya
dari namimah, karena melarang kemunkaran itu wajib.
3.
Membencinya
karena Allah, karena ia telah maksiat; dan membenci orang yang maksiat itu
wajib.
4.
Tidak
berburuk sangka terhadap saudara kita yang diceritakannya, karena berburuk
sangka terhadap sesama muslim itu haram.
5.
Tidak
mencari-cari keterangan untuk menemukan kesalahan orang lain, karena Allah
melarang perbuatan tersebut.
6.
Apa
yang tidak disukai oleh manusia dari namimah jangan sampai kita lakukan, dan
jangan pula menyebarkan apa yang disampaikan oleh orang yang berbuat namimah
kepada siapa pun.
Ketika seseorang masuk menemui Umar bin Abdul
Aziz dan menceritakan kepadanya tentang orang lain, berkatalah Umar, “Bila
engkau mau, akan aku selidiki keteranganmu. Bila engkau dusta maka engkau
termasuk yang diceritakan dalam ayat: ‘Bila datang kepadamu seorang fasik
membawa suatu berita, maka selidikilah dahulu.’ Sedangkan bila engkau
benar, maka engkau termasuk yang diceritakan dalam ayat: ‘Yang mengadu domba
dan berjalan dengan melakukan namimah.’ Bila engkau mau, aku akan
mengampuni.” Lalu orang itu berkata, “Maafkanlah wahai Amirul Mukminin, saya
tidak akan mengulanginya lagi”
Berkata Hasan al Bashri, “Barangsiapa menyampaikan suatu
pembicaraan kepadamu, maka ketahuilah, sesungguhnya ia pun akan menyampaikan
ucapanmu kepada orang lain.”
4. Cara
bertaubat dari namimah :
1. Menyesali perbuatan itu, bertekad untuk tidak melakukannya kembali
dan beristighfar serta bertaubat dengan benar.
2. Bila sudah telanjur memanas-manasi keadaan, maka
dia harus segera meluruskankembali permasalahannya sehingga suasana menjadi
tenteram kembali, kemudianmeminta maaf kepada keduanya
3. Jika telah terjadi permusuhan dan perselisihan
antarpihak yang diadu domba,maka dia harus berusaha untuk mendamaikanya kembali
dan meminta maaf kepada kedua belah pihak serta berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
namimah merupakan akhlaq madzmumah (akhlak tercela) yang hendaknya kita
hindari. Secara sederhana memang sukar melepaskan diri darinya. Karena
kebencian muncul dari orang-orang yang menghancurkan tali silaturrahim yang
telah terjalin. Otomatis perpecahanlah yang akhirnya terjadi.
Cara Berhadapan dengan Orang yang Melakukan Namimah
Para ulama menjelaskan enam sikap yang wajib
kita lakukan bila berhadapan dengan orang yang melakukan namimah.
1.
Tidak
membenarkan apa yang disampaikannya, karena persaksiannya tertolak. Al-Qur’an
menyebut orang semacam itu dengan sebutan fasik.
2.
Melarangnya
dari namimah, karena melarang kemunkaran itu wajib.
3.
Membencinya
karena Allah, karena ia telah maksiat, dan membenci orang yang maksiat itu
wajib.
4.
Tidak
berburuk sangka terhadap saudara kita yang diceritakannya, karena berburuk
sangka terhadap sesama muslim itu haram.
5.
Tidak
mencari-cari keterangan untuk menemukan kesalahan orang lain, karena Allah
melarang perbuatan tersebut.
6.
Apa
yang tidak disukai oleh manusia dari namimah jangan sampai kita lakukan, dan
jangan pula menyebarkan apa yang disampaikan oleh orang yang berbuat namimah
kepada siapa pun.
DAFTAR PUSTAKA
Lait,
Al-Faqih Az-Zahid Abu. 1999. Tanbihul Ghafilin. Jakarta: Pustaka Amani.
Bahreisy,
Hussein. 1980. Shahih Bukhari. Surabaya: Usana Offset Priting.
Imam
al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Semarang: Thaha Putra, 1930
Imam
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Bandung: Dahlan, t. th.
Samarqandi,
Nasr. 1999. Tafsirul Quran. Jakarta: Pustaka Amani.
Moh. Anwar, Fiqh
Islam: Mu’amalah, Munakabat, Faro’id dan Jinayah, Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1988
Ibn Syuhnah al-Hanaf,
Lisan al-Hukkam fi Ma’rifat al-Ahkam, Mesir: Mushthafa al-Bab
al-Halabi, 1973.
Effendy,
Mochtar. 2001. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: PT Widyadara.
Bahreisy, Salim.
1987. Tarjamah Riadhus Sholihin II.Bandung: PT Alma Arif Bandung.
Al-'Adawy,
Musthafa. 2006.Fiqih Akhlak.Jakarta: Qisthi Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar